Galamai merupakan cemilan sejenis dodol atau jenang yang berkembang di Payakumbuh. Selain di Payakumbuh, cemilan ini juga ditemukan di berbagai tempat di Sumatera Barat. Makanan yang satu ini terbuat dari tepung beras ketan (pulut), gula aren, dan santan. Ketiga jenis bahan ini dimasak dalam suatu kuali besar hingga membentuk gumpalan yang liat dan berwarna kecokelatan. Gumpalan ini akan dipotong dan dibentuk sebelum adonannya dingin.
Dari segi rasa, bagi lidah yang awam galamai mirip dengan jenang kudus yang manis dan legit di mulut. Sedikit berbeda dengan dodol atau jenang, dalam adonan galamai ditaburkan kacang tanah yang disangrai. Penambahan kacang tanah ini memberikan sentuhan rasa gurih renyah yang unik pada galamai.
Menariknya, bagi masyarakat Minangkabau sendiri, masalah citarasa galamai tidak sesederhana bentuknya. Dengan mencicipinya sedikit saja, lidah orang Minang dapat membedakan manakah galamai asal Payakumbuh maupun daerah-daerah lainnya. Karakteristik ini memang sulit untuk didefinisikan dengan jelas karena kekhasan serta kerumitan dalam proses pembuatannya.
Membuat galamai memang proses yang membutuhkan pengalaman serta keterampilan sang pengrajin. Pembuatannya menuntut intuisi yang tajam, keuletan, serta daya tahan fisik yang cukup kuat karena membutuhkan waktu yang cukup lama.
Sepanjang 3-4 jam proses pemasakan, adonan galamai di atas kuali tidak boleh berhenti diaduk dengan nyala api yang harus benar-benar pas. Karenanya, kualitas dari galamai yang dihasilkan sangat ditentukan oleh kelihaian dan pengalaman dari orang yang membuatnya.
Galamai is a kind of snack like dodol or jenang that developed in Payakumbuh. In addition to Payakumbuh, snacks are also found in various places in West Sumatra. This one food is made from glutinous rice flour (pulut), palm sugar, and coconut milk. All three types of these ingredients are cooked in a large cauldron to form a clay that is tough and brownish. These clumps will be cut and shaped before the dough is cold.
In terms of taste, for the layman’s tongue galamai similar to the sweet and legit sacred jenang in the mouth. Slightly different from dodol or jenang, in galamai dough sown roasted peanut. The addition of peanuts gives a touch of unique crispy savory taste on the galamai.
Interestingly, for the Minangkabau community itself, the problem of galamai flavor is not as simple as its form. By tasting just a little, the tongue of Minang people can distinguish where galamai from Payakumbuh and other areas. This characteristic is difficult to define clearly because of the uniqueness and complexity in the process of making it.
Making galamai is a process that requires the craftsman’s experience and skills. Its manufacture demands intuition sharp, resilience, and physical endurance is quite strong because it takes a long time.
Throughout 3-4 hours of cooking process, the galamai dough over the cauldron should not stop stirring with a flame that should really fit. Therefore, the quality of the resulting galamai is determined by the shrewdness and experience of the person making it.